Timbangan yang Seadil-adilnya tidak Mungkin Terjadi Kecurangan

‎أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

وَا لْوَزْنُ  يَوْمَئِذِ  ٱِلْحَـقُّ  ۚ فَمَنْ  ثَقُلَتْ  مَوَا زِ يْنُهٗ  فَاُ ولٰٓئِكَ  هُمُ  الْمُفْلِحُوْنَ

“Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Maka, barang siapa berat timbangan (kebaikan)nya, mereka itulah orang yang beruntung,”(QS. Al-A’raf 7: Ayat 8)

Timbangan yang seadil-adilnya dan tak mungkin terjadi kecurangan dalam timbangan itu

Dalam tafsir lengkap Kementrian Agama RI; Timbangan yang tidak kita ketahui secara hakiki bagaimana bentuk dan sifatnya, pada hari itu menjadi ukuran kebenaran. Ihwal timbangan ini merupakan perkara gaib; kita wajib mengimaninya dan hanya Allah yang tahu hakikatnya. Maka barang siapa berat timbangan kebaikan-nya karena banyak melakukan kebaikan, mereka itulah orang yang beruntung. Mereka akan masuk surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.

Ayat ini menerangkan adanya timbangan di akhirat nanti. Timbangan ini wajib kita percayai karena dengan timbangan itulah akan diketahui besar kecilnya, berat ringannya amal seseorang. Timbangan di akhirat nanti adalah timbangan yang seadil-adilnya dan tak mungkin terjadi kecurangan dalam timbangan itu.

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al-Anbiya’/21: 47)

Barang siapa berat timbangan amalnya, karena iman yang dimilikinya adalah iman yang sebenarnya. Ibadahnya kepada Allah dilakukan sebanyak mungkin penuh dengan khusuk dan ikhlas, dan hubungannya dengan sesama manusia baik sekali. Dia banyak menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu pembangunan masjid, madrasah, pesantren dan bangunan-bangunan lain yang digunakan memperbaiki dan meningkatkan akhlak umat, memelihara anak yatim, dan lain sebagainya. Manusia yang demikian inilah yang akan beruntung di akhirat nanti, merasa puas menerima semua balasan amalnya di dunia.

فَاَ مَّا  مَنْ  ثَقُلَتْ  مَوَا زِ يْنُهٗ
“Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,”(QS. Al-Qari’ah 101: Ayat 6)

فَهُوَ  فِيْ  عِيْشَةٍ  رَّا ضِيَةٍ
“maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang).”(QS. Al-Qari’ah 101: Ayat 7)

Kita menginginkan berat timbangan kebaikan lebih besar dibandingkan timbangan keburukan,
Oleh karena itu bisa memulai menghidab diri.

Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiapsiaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak

, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. 59:18).

Persiapan yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan takwa, karena itulah bekal manusia yang paling baik di sisi Allah. Umar ra pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal:

“Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).

Allah juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan surga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS 3:133)

Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah secara berkala, karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggung jawabannya kelak di hadapan Allah ( QS. 50:17-18).

Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya (QS. 99:7-8).

Bila mengingat dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin. Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Ke mana tempat lari? Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”. (QS. 75:7-12).

Rasulullah SAW juga pernah bersabda ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu

1. imam/pemimpin yang adil,
2. pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah,
3. pemuda yang lekat hatinya dengan masjid,
4. Orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah,
5. orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”,
6. orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi)
7. dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan air mata karena takut kepada Allah.

Doa keberkahan ketika mati dan setelah mati;

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِي الْمَوْتِ وَفِيْمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

Allahumma barik liy fil mauti, wa fiymaa ba’dal mauti.

“Ya Allah berikanlah keberkahan kepadaku ketika mati dan setelah mati.”