Makanan yang Diharamkan dalam Al Qur’an

‎أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

حُرِّمَتْ  عَلَيْكُمُ  الْمَيْتَةُ  وَا لدَّمُ  وَلَحْمُ  الْخِنْزِ يْرِ  وَمَاۤ  اُهِلَّ  لِغَيْرِ  اللّٰهِ  بِهٖ  وَا لْمُنْخَنِقَةُ  وَا لْمَوْقُوْذَةُ  وَا لْمُتَرَدِّيَةُ  وَا لنَّطِيْحَةُ  وَمَاۤ  اَكَلَ  السَّبُعُ  اِلَّا  مَا  ذَكَّيْتُمْ  ۗ وَمَا  ذُ  بِحَ  عَلَى  النُّصُبِ  وَاَ نْ  تَسْتَقْسِمُوْا  بِا لْاَ زْلَا مِ  ۗ ذٰ  لِكُمْ  فِسْقٌ  ۗ اَلْيَوْمَ  يَئِسَ  الَّذِيْنَ  كَفَرُوْا  مِنْ  دِيْـنِكُمْ  فَلَا  تَخْشَوْهُمْ  وَا خْشَوْنِ  ۗ اَ  لْيَوْمَ  اَكْمَلْتُ  لَـكُمْ  دِيْنَكُمْ  وَاَ  تْمَمْتُ  عَلَيْكُمْ  نِعْمَتِيْ  وَرَضِيْتُ  لَـكُمُ  الْاِ سْلَا مَ  دِيْنًا  ۗ فَمَنِ  اضْطُرَّ  فِيْ  مَخْمَصَةٍ  غَيْرَ  مُتَجَا نِفٍ  لِّاِثْمٍ  ۙ فَاِ نَّ  اللّٰهَ  غَفُوْرٌ  رَّحِيْمٌ‏

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 3)

Makanan yang diharamkan dalam al Quran

اِنَّمَا  حَرَّمَ  عَلَيْکُمُ  الْمَيْتَةَ  وَا لدَّمَ  وَلَحْمَ  الْخِنْزِ يْرِ  وَمَاۤ  اُهِلَّ  بِهٖ  لِغَيْرِ  اللّٰهِ  ۚ فَمَنِ  اضْطُرَّ  غَيْرَ  بَا غٍ  وَّلَا  عَا دٍ  فَلَاۤ  اِثْمَ  عَلَيْهِ  ۗ اِنَّ  اللّٰهَ  غَفُوْرٌ  رَّحِيْمٌ

“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 173)

قُلْ  لَّاۤ  اَجِدُ  فِيْ  مَاۤ  اُوْحِيَ  اِلَيَّ  مُحَرَّمًا  عَلٰى  طَا عِمٍ  يَّطْعَمُهٗۤ  اِلَّاۤ  اَنْ  يَّكُوْنَ  مَيْتَةً  اَوْ  دَمًا  مَّسْفُوْحًا  اَوْ  لَحْمَ  خِنْزِ يْرٍ  فَاِ نَّهٗ  رِجْسٌ  اَوْ  فِسْقًا  اُهِلَّ  لِغَيْرِ  اللّٰهِ  بِهٖ  ۚ فَمَنِ  اضْطُرَّ  غَيْرَ  بَا غٍ  وَّلَا  عَا دٍ  فَاِ نَّ  رَبَّكَ  غَفُوْرٌ  رَّحِيْمٌ

“Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-An’am 6: Ayat 145).

Beberapa ayat dalam al Quran menyebutkan yang diharamkan;

Pertama: Bangkai (Al Maitah)
Bangkai (al maitah) adalah setiap hewan yang matinya tidak wajar, tanpa lewat penyembelihan yang syar’i. Contohnya adalah:

  • Al munkhoniqoh: hewan yang mati dalam keadaan tercekik.
  • Al mawquudzah: hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat atau selainnya.
  • Al mutaroddiyah: hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
  • An nathiihah: hewan yang mati karena ditanduk.
    Hewan yang diterkam binatang buas.
    Jika hewan-hewan di atas ini masih didapati dalam keadaan bernyawa, lalu disembelih dengan cara yang syar’i, maka hewan tersebut menjadi halal.

إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”

Yang termasuk bangkai adalah segala sesuatu yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ

“Apa yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, maka sesuatu tersebut adalah bangkai.” (HR. Abu Daud no. 2858, At Tirmidzi no. 1480, Ibnu Majah no. 3216, Ahmad 5/218.)

Namun ada dua bangkai yang dikecualikan keharamannya, artinya bangkai tersebut halal yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3218. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kedua: Darah yang mengalir
Pengharaman hal ini berdasarkan Surat Al Maidah ayat 3 di atas. Adapun darah yang jumlahnya sedikit semacam darah yang masih menempel di urat daging sembelihan dan sulit dibersihkan, maka itu dimaafkan.

Ketiga: Daging babi

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Yang diharamkan dari babi adalah seluruh bagian babi. Sedangkan di sini disebutkan dagingnya saja karena biasanya yang dimakan adalah dagingnya.”

Keempat: Hewan yang disembelih atas nama selain Allah
Dalil pengharamannya selain surat Al Maidah ayat 3 di atas, Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)

Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim untuk memakan hasil sembelihan orang musyrik, majusi atau orang yang murtad (non ahli kitab). Sedangkan untuk hasil sembelihan ahli kitab (yaitu Yahudi dan Nashrani) itu dibolehkan untuk dimakan selama tidak diketahui jika ia menyebut nama selain Allah. Landasan dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu.” (QS. Al Maidah: 5). Yang dimaksud dengan makanan dalam ayat di sini adalah hasil sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani). Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan, Makhul, Ibrohim An Nakhoi, As Sudi, dan Muqotil bin Hayyan.[2]

Bagaimana dengan hewan yang diimpor dari negara non muslim?
Jika yang diimpor adalah hewan laut semacam ikan, maka itu halal untuk dimakan. Karena ikan itu dihalalkan meskipun mati tanpa melalui penyembelihan yang syar’i, terserah yang menjaring ikan tersebut muslim atau non muslim.

Jika yang diimpor adalah hewan daratan yang halal untuk dimakan (semacam unta, sapi, kambing dan burung) dan berasal dari negeri selain Ahli Kitab (seperti Majusi dan penyembah berhala), maka hewan tersebut jadi terlarang untuk dimakan.

Jika yang diimpor adalah hewan yang berasal dari negeri ahli kitab (Yahudi dan Nashrani), maka boleh dimakan asalkan memenuhi dua syarat:
[1] Tidak diketahui jika mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih (seperti menyebut salib atau nama Isa bin Maryam), dan
[2] Tidak diketahui mereka mereka menyembelih dengan penyembelihan yang tidak syar’i.

Kaedah yang mesti diperhatikan dalam masalah hewan sesembelihan: “Segala hewan sesembelihan yang berasal dari orang yang sah untuk menyembelih (muslim dan ahli kitab), maka hukum asalnya adalah selamat sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hewan tersebut terlarang untuk dikonsumsi.”

Penerapan kaedah ini:

Jika ada daging sembelihan yang berasal dari orang yang mengaku muslim, maka kita tidak perlu mencari tahu apakah hewan ini disembelih dengan cara yang syar’i atau tidak, apakah orang yang menyembelih tadi melaksanakan shalat atau tidak. Alasannya, karena seorang muslim adalah orang yang berhak untuk menyembelih hewan tadi. Selama itu datang darinya, maka kita hukumi halal sampai ada indikasi yang menunjukkan bahwa hasil sembelihan tersebut haram untuk dimakan -mungkin- karena cara menyembelihnya jelas-jelas tidak syar’i atau orang yang menyembelih tidak shalat. Menurut pendapat terkuat, orang yang tidak pernah shalat sama sekali dihukumi kafir sehingga sembelihannya haram untuk dimakan.

Begitu pula jika daging sembelihan tersebut berasal dari orang Nashrani atau Yahudi (Ahlu Kitab). Selama itu berasal dari mereka, kita hukumi halal sampai ada indikasi yang menunjukkan bahwa sembelihan tersebut adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i, mungkin karena ia jelas-jelas menyebut nama selain Allah ketika menyembelihnya.

Kelima: Hewan yang disembelih untuk selain Allah
Seperti disembelih untuk berhala, qubur, dan orang yang sudah mati seperti ditujukan pada Said Al Badawi.

“Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar (syubhat) kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram.”

Semoga kita terhindar dari makanan yang haram, menghindari yang syubhat dan selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT.