Jangan Mengurangi Takaran dan Timbangan

‎أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَاِ لٰى  مَدْيَنَ  اَخَاهُمْ  شُعَيْبًا  ۗ قَا لَ  يٰقَوْمِ  اعْبُدُوا  اللّٰهَ  مَا  لَـكُمْ  مِّنْ  اِلٰهٍ  غَيْرُهٗ  ۗ وَلَا  تَـنْقُصُوا  الْمِكْيَا لَ  وَا لْمِيْزَا نَ  اِنِّيْۤ  اَرٰٮكُمْ  بِخَيْرٍ  وَّاِنِّيْۤ  اَخَا فُ  عَلَيْكُمْ  عَذَا بَ  يَوْمٍ  مُّحِيْطٍ
“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat).” (QS. Hud 11: Ayat 84)
Jangan mengurangi takaran dan timbangan
Dala tafsir lengkap Kementrian Agama RI; Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah swt mengutus Syuaib sebagai rasul-Nya kepada penduduk Madyan. Syuaib dipilih dari kaumnya sendiri. Syuaib adalah seorang putera keturunan dari Madyan bin Ibrahim a.s. Madyan membangun suatu daerah untuk kaumnya yang terletak di Hajar dekat negeri Syam, dan dinamakan sesuai dengan namanya, sehingga daerah itu beserta penduduknya dan kabilahnya dikatakan Madyan. Syuaib a.s. sebagai rasul Allah memulai tugas dakwahnya dengan mengajak kaumnya supaya menyembah Allah dan melarang mempersekutukan-Nya dengan berhala-berhala, patung-patung, dan sebagainya, karena tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Yang Maha Esa yang menciptakan seluruh alam semesta. Kemudian Syuaib a.s. melarang kaumnya mengurangi takaran dan timbangan, sebagaimana yang mereka lakukan dalam segala macam perdagangan dan jual-beli, sebab perbuatan itu sama dengan mengambil hak orang dengan kecurangan yang sangat jahat dan keji.
Larangan serupa ini diterangkan pula dalam firman Allah: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” (QS ;al-Muthaffifin/83: 1- 3)
Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya, bahwa ia melihat mereka hidup berkecukupan dan kaya raya, mereka tidak perlu melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan. Sebab, perbuatan itu selain mengambil hak orang lain dengan cara yang licik dan keji juga berarti mengingkari nikmat Allah yang telah memberi kekayaan yang banyak kepada mereka. Semestinya mereka bersyukur kepada-Nya, bukan sebalik-nya mereka menambah harta kekayaan dengan kecurangan-kecurangan dan kelicikan-kelicikan yang sangat dimurkai Allah. Nabi Syuaib a.s. memperingatkan kaumnya, bahwa apabila mereka masih tetap membangkang dalam kekafiran dan terus melakukan pekerjaan tercela itu, maka ia khawatir mereka akan ditimpa azab yang membinasakan mereka.
Fenomena apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi, luar biasa al Quran menyebutkan kondisi perilaku seperti ini dan ini memang suka terjadi, yang jadi pertanyaan alat takar takar dan alat timbang zaman nabi Syuaib a.s. seperti apa ?
Bentuk takaran dan timbangan pada zaman Nabi Syu‘aib
Para mufassir menjelaskan bahwa “al-mikyāl” adalah alat ukur takaran (biasanya untuk benda cair atau butiran seperti biji-bijian), sedangkan “al-mīzān” adalah alat timbang (untuk benda padat atau barang dagangan).
Bentuk konkretnya pada zaman itu:
1.Mikyāl (takaran)
•Menggunakan wadah seperti bejana, kendi, atau wadah standar yang volumenya sudah dikenal masyarakat (mirip dengan “liter” atau “gallon” di masa kini).
•Contoh: takaran untuk gandum, kurma, atau minyak zaitun.
2.Mīzān (timbangan)
•Menggunakan timbangan dacing (alat dengan dua sisi) yang ditaruh batu atau logam sebagai pemberat standar.
•Prinsipnya sama dengan timbangan tradisional yang masih dipakai di pasar-pasar klasik sampai sekarang.
 Penafsiran ulama
•Ibnu Katsir: mereka curang dengan mengurangi takaran dan timbangan, baik sedikit maupun banyak.
•Al-Qurthubi: peringatan ini berlaku umum, karena kecurangan dalam takaran/timbangan adalah bentuk kezaliman dalam muamalah.
•Tafsir As-Sa‘di: Allah menekankan agar tidak menzalimi hak orang lain dalam urusan ekonomi.
Doa permohonan agar kita dijauhkan dari perilaku curang dalam takaran, timbangan, dan segala bentuk penyimpangan dalam muamalah:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الصَّادِقِينَ فِي الْكَيْلِ وَالْمِيزَانِ، وَنَزِّهْ قُلُوبَنَا وَأَعْمَالَنَا عَنِ الْغِشِّ وَالظُّلْمِ، وَارْزُقْنَا رِزْقًا حَلَالًا طَيِّبًا مُبَارَكًا، وَاحْفَظْنَا مِنْ عَذَابِ يَوْمٍ مُحِيطٍ.
Allāhumma aj‘alnā minaṣ-ṣādiqīna fil-kayli wal-mīzān, wa nazzih qulūbanā wa a‘mālanā ‘anil-ghishyi waẓ-ẓulm, warzuqnā rizqan ḥalālan ṭayyiban mubārakan, waḥfaẓnā min ‘adhābi yaumin muḥīṭ.
“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang jujur dalam takaran dan timbangan, sucikanlah hati dan amal kami dari kecurangan dan kezaliman. Karuniakanlah kepada kami rezeki yang halal, baik, lagi penuh berkah, serta lindungilah kami dari azab pada hari yang meliputi segala sesuatu.”