Aktivitas siswa di sekolah dan pesantren (7)

Makna dan Kesejahteraan Guru di Sekolah Berpesantren

Guru sekolah berasrama adalah guru yang mengemban amanah lebih jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional

Guru secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, guru’, yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati. Dalam khazanah Jawa Kuno, dikenal sejumlah istilah yang menempel pada kata ’guru’: guru desa (kamituwo desa yang mumpuni dalam dunia spiritual), guru hyan (guru rohani), guru loka (pejabat agama di istana), dan guru pitara (mendiang nenek moyang yang patut dimuliakan karena kewaskitaannya).

Oleh karena itu, guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi), tetapi juga memenuhi prasyarat jika seseorang ingin jadi pemimpin yang baik. Ia harus mampu mengajarkan bagaimana jadi manusia yang baik, mampu memberi teladan bahwa, misalnya, korupsi itu sama saja dengan mencuri lewat contoh langsung dalam laku keseharian hidupnya yang sudah sempit dan serba terbatas.

Tak ada yang lebih pas untuk merumuskan peran macam itu selain istilah ’guru’, bukan ’teacher’ atau ’lecture’. Itu sebabnya, ’guru’ kerap dipanjangkan sebagai “digugu dan ditiru”. Jadi, tidak mengherankan jika peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” hanya ada di negeri atau di tempat di mana ’guru’ tak hanya dimengerti semata sebagai ’teacher’. Makanya, guru (pernah) diposisikan sebagai “manusia suci”, semacam resi, yang selain pintar, tetapi punya perilaku yang tulus dan ikhlas. Dari sini kita jadi mengerti sebab kenapa kita seperti kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang (pernah) tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu hidup sederhana dan tulus Di sini muncul dilema. Kita sepakat, sudah sepantasnya guru punya penghidupan dan penghasilan gaji yang baik. Namun, jika guru sudah punya kehidupan yang layak, taruhlah laiknya pegawai bank, kita khawatir banyak orang ingin jadi guru karena semata tergiur penghasilannya yang memadai, bukan karena panggilan hati menjadi pendidik. Sehingga akan muncul kekhawatiran, guru dimengerti hanya sebagai profesi, yang tak ada bedanya dengan profesi sekretaris atau arsitek, misalnya.

Dalam sejarah di Indonesia, para pendiri negeri ini adalah seorang guru. Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, mengajari anak-anak disana sejumlah mata pelajaran; mulai dari berhitung, bahasa Belanda, hingga sejarah. Di Banda Neira, Hatta dan Sjahrir secara intensif dan teratur jadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal, tetapi juga non formal, seperti pendidikan politik diam-diam, di antaranya dengan mengecat perahu dengan warna merah-putih dan diajari lagu-lagu perjuangan.

Dari kelompok kiri, Semaun, Alimin, hingga Tan Malaka juga punya pengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolah di sebuah kawasan perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru hampir di semua tempat pelariannya di luar negeri. Dari militer, Sudirman dan Nasution juga punya pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama lebih kurang 5 tahun menjadi kepala sekolah di sebuah SD Muhammadiyah di Cilacap, sebelum bergabung dengan Peta. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu (1938) dan di Palembang (1939-1950), sebelum jadi tentara KNIL.

Kondisi di atas jelas mengindikasikan bahwa untuk dapat melahirkan pemimpin harus oleh guru-guru yang juga pemimpin. Bukan guru-guru yang berhenti sebatas mentransformasi ilmu pengetahuan tanpa diperkaya dengan melakukan internalisasi nilai-nilai luhur kehidupan. Konsep sekolah berasrama perlu pendekatan menyeluruh, terutama dalam memahami siswa. Sekolah berasrama tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas akademik dan fasilitas menginap memadai bagi siswa, tetapi juga menyediakan guru yang menggantikan peran orangtua dalam pembentukan watak dan karakter.

Kedekatan antara siswa dan guru dalam sekolah berasrama yang tercipta oleh intensitas pertemuan yang memadai akan mempermudah proses transfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai dari pendidik ke peserta didik. Kedekatan akan mengubah posisi guru di mata para murid. Dari sosok ditakuti atau disegani ke sosok yang ingin diteladani. Dr. Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para siswa dalam proses belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta efektif dalam pembentukan kepribadian mereka.

Keteladanan secara personality dapat membangun kepercayaan diri untuk dapat berkomunikasi secara internal personality dan akan tercipta tanpa si anak merasa asing dengan kemampuan yang mereka miliki dalam menyampaikan pesan atau ide-ide pemikirannya kepada orang lain. Apakah itu dalam bentuk verbal maupun nonverbal, seperti menentukan sikap dan tingkah laku keseharian mereka. Keteladanan, ketulusan, kongruensi, dan kesiapsiagaan guru mereka 1×24 jam akan memberdayakan dan mengilhami siswa untuk membebaskan potensi mereka sebagai pelajar.

Hal di atas akan mempercepat pertumbuhan kecerdasan emosionalnya. Jika metode pembelajarannya diberdayakan secara maksimal, maka kesuksesan para pelajar akan lebih mudah untuk direalisasikan. Pencapaian itu bisa dilakukan kalau senantiasa terjadi interaksi yang merangsang pertumbuhan sikap mental. Namun, untuk itu dibutuhkan seorang guru yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik digabungkan dengan rancangan pengajaran yang efektif. Harmonisasi keduanya akan memberikan pengalaman belajar yang dinamis bagi siswa.

Guru-guru sekolah berasrama harus banyak “diproduksi” oleh universitas-universitas yang selama ini melahirkan banyak guru-guru mata pelajaran. Guru sekolah berasrama adalah guru yang mengemban amanah lebih jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional. Dia tidak hanya pintar mengajar, tapi juga pintar berteman, pintar memberi pengayoman, pintar bercerita, mempunyai energi psikis yang banyak, selalu berkembang dan terus berkembang. Karena yang dia hadapi adalah siswa atau peserta didik yang terus berkembang, terus belajar, dan terus berubah. Bagaimana kita melahirkan peserta didik yang hebat, visioner, responsif, kalau gurunya adalah orang-orang yang tidak cinta ilmu, tidak terus belajar, dan tidak terus berkembang.

Pena :  Dadang Dimyati,S.S