Di ruang kelas hari ini, dunia pendidikan menghadapi perubahan besar. Para guru senior yang sebagian berasal dari generasi Boomer dan Gen X harus mengajar siswa Gen Z dan Gen Alpha yang tumbuh di tengah derasnya arus teknologi digital. Jika dulu papan tulis dan kapur sudah cukup, kini murid belajar lewat TikTok, YouTube, dan Chat GPT. Pertanyaannya: bisakah guru lama tetap relevan di era digital?
Dunia yang Berubah: Dari Kapur ke Klik dan ketikan mouse
Generasi Boomer dan Gen X tumbuh di masa di mana guru menjadi satu-satunya sumber ilmu. Mereka dibesarkan dalam budaya disiplin, hirarki, dan otoritas. Sementara itu, Gen Z dan Gen Alpha yang lahir setelah tahun 1997 adalah digital native: mereka tidak pernah hidup tanpa internet.
Bagi mereka, informasi bukan dicari di perpustakaan, tapi di layar ponsel.
Belajar bukan hanya dari buku teks, tapi dari video singkat, diskusi daring, dan pengalaman langsung. Maka, tak heran jika gap generasi antara guru dan murid semakin terasa di kelas.
Di sekolah seperti Al Masoem, yang menggabungkan nilai akhlak, prestasi, dan pendidikan modern, situasi ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Apalagi dengan adanya kelas internasional Cambridge, siswa dituntut berpikir kritis dan kreatif — hal yang tidak cukup dijawab dengan metode mengajar konvensional.
Tantangan Guru Senior di Era Digital
Bagi banyak guru lama, teknologi bisa terasa menakutkan. Mereka sering berkata,
“Saya bukan generasi TikTok.”
Namun disisi lain, murid-murid mereka belajar lewat TikTok setiap hari.
Tantangan utama guru senior meliputi:
- Perbedaan gaya komunikasi. Gen Z tidak suka digurui. Mereka lebih suka berdialog.
- Perbedaan ritme belajar. Anak sekarang cepat bosan, tapi cepat tangkap jika visual dan interaktif.
- Keterbatasan adaptasi teknologi. Tidak semua guru senior nyaman dengan AI, media sosial, atau aplikasi pembelajaran modern.
- Kesenjangan nilai. Guru menilai hormat itu diam dan mendengar; murid menilai hormat itu partisipasi aktif.
Namun bukan berarti guru lama tidak bisa berubah. Justru pengalaman mereka menjadi fondasi kuat untuk menanamkan akhlak dan karakter, selama dikemas dengan cara yang sesuai zaman.
Metode Pembelajaran Adaptif: Menjembatani Generasi
Kuncinya bukan mengganti guru lama, melainkan mentransformasi cara mereka mengajar.
Beberapa strategi metode pembelajaran adaptif yang bisa diterapkan di sekolah seperti Al Masoem antara lain:
a. Storytelling berbasis nilai
Daripada ceramah panjang, guru bisa mengubah pengalaman hidupnya menjadi kisah inspiratif.
Contoh: cerita tentang perjuangan belajar tanpa internet bisa disandingkan dengan makna bersyukur atas kemudahan teknologi hari ini.
b. Kombinasi metode konvensional dan digital
Kelas bisa dimulai dengan pengantar singkat dari guru, lalu dilanjutkan dengan video pendek, diskusi kelompok, atau bahkan mini proyek berbasis media sosial (misalnya membuat konten edukatif Islami berdurasi 1 menit).
c. Kolaborasi lintas generasi guru
Al Masoem bisa memfasilitasi team teaching antara guru senior dan guru muda. Guru muda membantu dari sisi teknologi, guru senior memperkuat dari sisi nilai dan kedalaman spiritual.
d. Pelatihan “Digital–Emotional Pedagogy”
Guru dibekali pelatihan untuk memahami psikologi Gen Z dan Gen Alpha, termasuk cara komunikasi, motivasi, dan pendekatan emosional yang efektif.
Gen Z dan Gen Alpha: Murid dengan Dunia Berbeda
Agar guru bisa mengajar efektif, mereka perlu memahami karakter murid digital native ini.
Berikut ringkasan perbedaannya:
| Aspek | Gen Z | Gen Alpha |
| Lahir | 1997–2012 | 2013–sekarang |
| Ciri utama | Cepat belajar, kritis, visual learner | Sangat digital, multitasking, imersif |
| Media belajar | YouTube, TikTok, Podcast | AR/VR, game edukatif, interaktif AI |
| Kebutuhan utama | Relevansi dan kecepatan | Keterlibatan dan pengalaman |
| Respon terhadap guru | Menghargai keterbukaan dan empati | Menghargai personalisasi dan interaksi |
Jika guru masih mengajar dengan metode satu arah, generasi ini akan kehilangan semangat belajar. Tapi jika guru menggabungkan nilai lama dengan format baru, hasilnya luar biasa: murid cerdas sekaligus berakhlak.
Kasus Sekolah: Relevansi di Al Masoem
Sebagai sekolah yang menyeimbangkan pendidikan agama, prestasi akademik, dan kesehatan mental, Al Masoem berada di posisi unik untuk memimpin transformasi ini.
Dengan program kelas internasional Cambridge, siswa sudah terbiasa berpikir global dan komunikatif. Maka guru pun perlu “berbicara dengan bahasa zaman” tanpa kehilangan nilai Islam yang menjadi ruh sekolah.
Contohnya:
- Materi akhlak bisa dikaitkan dengan etika digital.
- Kajian keislaman bisa disajikan lewat konten kreatif pendek.
- Pembelajaran Al-Qur’an bisa dikolaborasikan dengan teknologi interaktif seperti aplikasi tajwid digital.
Transformasi Guru: Dari Pengajar ke Pembimbing
Di era digital, peran guru bergeser dari “pemberi ilmu” menjadi pembimbing perjalanan belajar.
Guru bukan lagi pusat informasi, melainkan kompas moral dan emosional bagi murid.
Untuk itu, guru senior perlu:
- Membuka diri pada teknologi. Tak harus jadi ahli, cukup memahami dasar-dasarnya.
- Mengasah empati. Pahami bahwa generasi baru menghadapi tekanan sosial media yang berat.
- Belajar komunikasi dua arah. Dengarkan murid, bukan hanya menasehati.
- Kolaborasi antara guru lintas generasi. Perpaduan pengalaman dan energi muda akan menghasilkan pembelajaran yang hidup.
Kesimpulan: Masa Depan Pendidikan Ada di Kolaborasi, Bukan Konfrontasi
“Boomer di Era TikTok” bukan sekadar istilah lucu ini realitas di dunia pendidikan saat ini.
Guru senior yang mau bertransformasi, bukan hanya bertahan, akan menjadi figur luar biasa bagi Gen Z dan Gen Alpha.
Sekolah seperti Al Masoem dapat menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai Islam, pendidikan modern, dan teknologi Cambridge bisa berpadu.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang siapa yang lebih muda atau lebih tua tapi siapa yang lebih mau belajar dan beradaptasi.

