Firaun Sombong Menganggap Negaranya Makmur karena Rakyatnya Rajin Bekerja

‎أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

فَاِ ذَا  جَآءَتْهُمُ  الْحَسَنَةُ  قَا لُوْا  لَـنَا  هٰذِهٖ  ۚ وَاِ نْ  تُصِبْهُمْ  سَيِّئَةٌ  يَّطَّيَّرُوْا  بِمُوْسٰى  وَمَنْ  مَّعَهٗ  ۗ اَ لَاۤ  اِنَّمَا  طٰٓئِرُهُمْ  عِنْدَ  اللّٰهِ  وَلٰـكِنَّ  اَكْثَرَهُمْ  لَا  يَعْلَمُوْنَ

“Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, Ini adalah karena (usaha) kami. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 131)

Pada saat makmur, mengklaim negaranya subur dan orang orangnya rajin bekerja, padahal semuanya itu rahmat Allah yang harus disyukuri

Dalam tafsir lengkap Kementrian Agama RI; Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat dan tabiat Firaun dan pengikutnya, bahwa pada saat mereka mengalami kemakmuran hidup, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah sewajarnya, karena negeri mereka subur dan mereka pun rajin bekerja. Tidak terbayang dalam hati mereka bahwa semuanya itu adalah rahmat dari Allah yang patut mereka syukuri. Sebaliknya, apabila mereka mengalami bahaya kekeringan, kelaparan, penyakit, mereka lalu melemparkan kesalahan dan umpatan kepada Nabi Musa.

Mereka katakan bahwa semua malapetaka itu disebabkan kesalahan Nabi Musa dan kaumnya. Mereka lupa kepada kejahatan dan kezaliman yang mereka perbuat terhadap kaum Nabi Musa, karena mereka menganggap bahwa perbudakan dan perbuatan kejam yang mereka lakukan terhadap Bani Israil itu adalah wajar dan merupakan hak mereka sebagai bangsa yang berkuasa. Itu adalah gambaran yang paling jelas tentang sikap dan tabiat kaum imperialis sepanjang masa.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa cobaan yang menimpa diri orang-orang kafir itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.

Maksudnya ialah bahwa semua kebaikan yang mereka peroleh, dan segala cobaan yang mereka hadapi, semua itu sudah merupakan qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah, sesuai dengan sunnah-Nya yang berlaku bagi semua makhluknya, yaitu sesuai dengan sebab dan akibat, sehingga apa-apa yang terjadi pada manusia adalah merupakan akibat belaka dari sikap, perbuatan dan tingkah lakunya. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mau menginsafinya. Mereka tetap berada dalam kekufuran dan kezaliman.

Mereka tetap berada dalam kekufuran dan kezaliman. Inilah kesombongan Firaun. Firaun sering digambarkan sebagai simbol keangkuhan dan kesombongan. Ciri-ciri yang menonjol dari kesombongan Firaun termasuk penolakan atas kebenaran yang jelas, klaim atas ilahi, penindasan terhadap orang lain, dan keengganan untuk tunduk kepada otoritas yang lebih tinggi. Kesombongan Firaun juga tercermin dalam sikapnya yang sombong terhadap Nabi Musa dan tindakan kezalimannya terhadap Bani Israel.

Kesombongan Firaun, yang terkenal dalam sejarah Mesir kuno, mencerminkan karakteristik penguasa yang arogan dan meyakini keistimewaan dirinya. Pertama-tama, Firaun sering dianggap sebagai manifestasi dewa di bumi, dan keyakinan ini menciptakan dasar kesombongannya.

Firaun meyakini bahwa kekuasaan dan kemuliaan yang dimilikinya berasal dari keturunan ilahi, yang membuatnya merasa tidak terkalahkan dan di atas hukum. Kepercayaan ini tercermin dalam pembangunan proyek-proyek monumental, seperti piramida dan kuil, yang dianggap sebagai bukti kehebatannya sebagai pemimpin yang dilindungi oleh para dewa.

Pada saat makmur, mengklaim negaranya subur dan orang orangnya rajin bekerja, padahal semuanya itu rahmat Allah yang harus disyukuri, bukan menjadi sombong.

Hanya memohon kepada Allah, dijauhkan dari sifat sombong ;

“Ya Allah, tolonglah jauhkan aku dari sifat sombong dan angkuh. Bimbinglah aku untuk selalu menghargai orang lain, menerima kritik dengan lapang dada, dan bersyukur atas segala rahmat yang Engkau berikan. Berikanlah aku kesadaran akan kerendahan diri dan kemurahan hati, sehingga aku bisa menjadi hamba yang lebih baik di hadapan-Mu dan sesama manusia. Amin.”